Jhon Melaks .. Novendi
Lanjutin disini hal ikhwal alghazali
TAUBATNYA IMAM AL GHAZALI KEJALAN YANG BENAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Imam Al-Ghazali (Wafat 505 H, umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, ia berkata di akhir hidupnya : “ketahuilah bahwa kebenaran yang nyata yang tidak ada perdebatan di dalamnya menurut ahli ilmu yang dalam ilmunya adalah madzhab salaf, maksud saya madzhab para sahabat dan tabi’in”(lihat kitab al-iman wal islam karya Khalid al baghadi hal. 79)
“Ketika beliau meninggal, kitab shahih bukhari tengah berada di atas dada beliau. Ini menunjukkan bahwa beliau cenderung kepada thariqah ahli hadits”. (lihat kitab dar’u ta’arudhil aql wan naql karya syaikhul islam ibnu taimiyah 1/162)
Pada akhir hidupnya Al Ghazali menyibukkan dirinya mempelajari dua kitab shahih(Bukhari&Muslim) sebagaimana diceritakan oleh muridnya yaitu Abdul Ghafir Al Farisi dgn pernyataanya : " Dan akhir urusan beliau (Al Ghazali) adalah memperhatikan hadits Al Musthafa shalallahu'alaihi wasallam, dan duduk dihadapan para ahlinya. Serta menelaah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim --yang kedua orang ini merupakan hujjatul islam--. Seandainya beliau masih hidup tentulah akan mendahului setiap orang dalam cabang ilmu (hadits) ini dengan sedikit waktu yang beliau curahkan untuk meraihnya. Dan tidak ada keraguan bahwa pada waktu-waktu sebelumnya, beliau telah mendengar hadits-hadits. Dan pada akhir usianya beliau menyibukkan diri dengan mendengarnya" [Lihat Manhaj Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Wa Manhaj Al Asya'irah Fii Tauhidillah, II/682, karya Khalid bin Abdul Lathif bin Muhammad bin Nur].
"Bersyukurlah orang yang telah mengenal jalan dan manhaj yang benar dalam beragama. Peganglah selalu hingga maut menjemputmu." [Imam Al-Ghazali]
Al-Ghazali di akhir hidupnya menemukan pentingnya arti hadits, karena itu ia singsingkan lengan bajunya mengejar apa yang terlewatkan. Akan tetapi kematian menjemputnya sebelum ia dapat mewujudkan tekadnya, dan ia wafat ketika sibuk mempelajari kitab Shahih Bukhari.
Potongan kalimat diatas, merupakan sebagian kecil dari penjelasan tentang perjalan Al-Ghazali dengan kitabnya yang terkenal Ihya Ulumudin, dimana buku ini (Ihya Ulumudin) sangat digemari di sebagian kalangan muslim dan menjadi pegangan bagi orang-orang yang berminat pada dunia tasawuf meskipun kandungannya jelas-jelas bertolak belakang dengan masalah tauhid, kenabian dan hari kiamat.
Lengkapnya, penjelasan tersebut akan saya salinkan secara ringkas dari kitab Jawabi' fi Wajhi As-Sunnah Qadiman wa Haditsan, edisi Indonesia Bahaya Mengingkari Sunnah oleh Shalahuddin Maqbul Ahmad.
IHYA' ULUMUDDIN KARYA ABU HAMID AL-GHAZALI
Syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali Al-Thusi (pada tahun 505H) menulis buku yang berjudul 'Ihya Ulumuddin. Buku ini sangat digemari di kalangan muslim dan menjadi pegangan bagi orang yang berminat pada dunia tasawuf meskipun kandungannya jelas-jelas bertolak belakang dengan masalah tauhid, kenabian dan hari kiamat. Bahkan ada yang mengatakan, "Siapa yang tidak membaca Ihya', maka tidak akan mendapatkan hakikat kehidupan".
Al-Ghazaali dalam Ihya' ini mengambil berbagai pandangan dari buku-buku orang sufi [1] lain, karena ia telah menyatu dengan Al-Quut karya Abu Thalib Al-Maki, dan Ar-Ri'ayah karya Harits Al-Muhasibi.
Telah disebutkan bahwa Imam Ahmad meninggalkan dan mewaspadai karya Al-Muhasibi. Begitu juga Abu Zur'ah.
Ibnu Al-Jauzi menggambarkan dengan cukup buku Al-Quut sebagai berikut: 'Quut Al-Qulub karya Abu Thalib Al-Maki banyak menyajikan hadits-hadits batil dan yang terputus sanadnya, misalnya hadits tentang keutamaan shalat-shalat malam, serta hadits-hadits maudhu' lain. Ia juga menyebutkan akidah yang rusak.[2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmatinya- ditanya tentang buku Ihya' Ulumuddin dan Quut Al-Qulub, dia menjawab, "Ihya' mengikuti seperti yang ada dalam Quut Al-Qulub dalam hal pembahasan segala perbuatan hati dan sabar, syukur dan cinta, tawakal, tauhid dan lain-lain. Sebab Abu Thalib lebih memahami ilmu hadits, atsar, kaum sufi yang mendalami masalah hati daripada Abu Hamid Al-Ghazali. Perkataannya lebih bagus dan tepat, serta jauh dari bid'ah, meskipun hadits yang terangkum dalam Quut Al-Qulub termasuk hadits dha'if dan maudhu serta banyak yang ditolak".
Sedangkan pembahasan tentang penyakit hati yang ada dalam Ihya' seperti sombong, membagakan diri, riya, dengki dan lain-lain, kebanyakan mengambil dari pendapat Harits Al-Muhasibi dalam buku Ar-Ri'ayah. Ada yang diterima, ada yang di tolak dan ada yang masih diperdebatkan.
Ihya' banyak memuat pelajaran bermanfaat, tetapi mengandung juga materi-materi tercela dan rusak yang diambil dari pandapang filosof mengenai hal yang berkaitan dengan tauhid, kenabian dan hari pembalasan. Jika menyebutkan makrifat-makrifat, Al-Ghazali seperti mengambil seorang musuh umat Islam dan memberinya pakaian muslim.
Para ulama menentang Abu Hamid dalam hal ini dalam buku mereka. Mereka berkata, "Abu Hamid terjangkit Asy-Syifa", maksudnya karya Ibnu Sina mengenai filsafat.
Dalam buku yang berjudul Al-Ihya' terdapat banyak hadits dan atsar yang dhai'f (lemah), bahkan maudhu' (palsu).
Di dalam Al-Ihya' terdapat kesalahan dan kebohongan para sufi. Meski demikian, terdapat juga kaum sufi yang arif dan istiqamah dalam berbagai perbuatan hati yang selaras dengan Al-Qur'an dan Sunnah, serta ibadah dan adab yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Kandungan ini memang lebih banyak daripada kandungan yang ditolak. Itulah sebabnya terjadi perbedaan ijhtihad mengenai Al-Ihya'[3].
Inilah gambaran yang tepat mengenai Al-Ihya' dan isi-isinya, yang mencakup hak dan kewajban dengan segenap amanah dan keinsafan.
Bila kita perhatikan Al-Ihya', maka akan kita temukan sejumlah kekurangan yang dapat disimpulkan ke dalam point-point sebagai berikut:[4]
- Banyak menampilkan hadits-hadits yang dha'if dan maudhu', Al-Hafidhz Al-Iraqi telah mentakhrij hadits-hadits dalam bukunya Al-Mugni 'an-Hamli Al-Safar fil Asfar fi Takhrij ma fil Ihya' minal Akhbar.
* Al-Ghazali sendiri mengakui dalam sebagian bukunya bahwa ia mempunyai sedikit pengetahuan tentang hadits. Ia berkata, "Hadits yang ada padaku masih campur aduk"[5]
Al-Ghazali di akhir hidupnya menemukan pentingnya arti hadits, karena itu ia singsingkan lengan bajunya mengejar apa yang terlewatkan. Akan tetapi kematian menjemputnya sebelum ia dapat mewujudkan tekadnya, dan ia wafat ketika sibuk mempelajari kitab Shahih Bukhari[6].
*Para ulama menjelaskan bahwa Al-Ghazali terpengaruh oleh para filosof dan teolog, kemudian dengan cepat ia berpaling kepada ahli sufi dan selanjutnya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka, akan tetapi ia tidak mampu.
Abu Bakar bin Al-Arabi yang hidup semasa dengan Al-Ghazali berkata, "Guru kami Abu Hamid menyelami filsafat kemudian ia ingin keluar darinya, namun ia tidak bisa"[7]
Ibn Al-Jauzi berkata, "Abu Hamid mengarang kitab Al-Ihya' untuk mereka dengan metode yang familiar bagi masyarakat waktu itu, dengan menyajikan hadits-hadits yang batil (sesat). Padahal ia tidak mengetahui kebatilan hadits tersebut. Ia berbicara tentang ilmu 'mukasyafah' dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah fikih. Ia mengatakan, maksud dari bintang, matahari, bulan yang dilihat oleh Ibrahim adalah cahaya yang merupakan hijab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Abu Hamid tidak memaksudkannya sebagai benda yang kita kenal. Kalam ini termasuk kalam kebatinan" [8]
Kencaman keras Imam Syafi'i kepada para ahli kalam :
حُـكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْـجَرِيْرِ، وَيُـحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِـهِـمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ: هَذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلاَمِ
"Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian dia dikelilingkan ke kampung seraya dikatakan pada khalayak: 'Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur'an dan sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.”[Manaqib Syafi'i al-Baihaqi 1/462].
Catatan kaki :
[1]Baca Al-Munqidz min Adh-Dhalal
[2]Talbis Iblis
[3]Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 10/551-552
[4]Baca kitab Muallafat Said Hawa, karya Al-Hilali, hal 32-39
[5]Qanun At-Ta'wil, Al-Ghazali, hal 16 ; dan Naqdh Al-Manthiq, karya Ibnu Taimiyah, hal. 52
[6] Muwafaqah Shahih Al-Manqul li Sharih Al-Ma'qul, Ibnu Taimiyah, 1/94, cetakan Kairo
[7]Ibid
[8]Baca perinciannya, Ibid, 1/196-197
⋘Bahaya Mengingkari Sunnah, Hal 300-307, Pustaka Azzam⋙